Terhenyak. (1)

22.32

Acara sudah siap dimulai. Para anak kecil ini sudah duduk di depanku. Salah satu dari mereka bahkan bersender di pahaku dan banyak berceloteh tentang penampilan tariannya bersama teman-temannya. 

MC pun naik ke panggung. Dengan penuh percaya diri dan selayaknya acara-acara di Indonesia dimulai, MC membuka dengan salam, "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!"

Normal? Ya, terdengar normal. Apa yang salah memangnya?

Kedua MC terus berlanjut. Tidak ada yang salah, memang. Namun, ini tidak sampai lama ketika tiba-tiba, Mei, salah satu anak yang duduk di depanku, dengan cepat berbalik arah dan berkata, 

"Kak, aku Kristen kak, aku Kristen."

Ucapan itu dia ulang berkali-kali dengan raut muka yang penuh kekhawatiran karena MC tak kunjung pula mengucapkan sapaan yang tidak berbasiskan pada agama tertentu. 

Masih terhenyak kaget, aku kebingungan dan lalu berusaha menenangkan. "Sabar ya Mei, ini bentar lagi pasti kakaknya bilang selamat sore kok. Sabar ya."

Tidak mempan. Mei masih khawatir. Raut mukanya tidak berubah- masih menunjukkan kekhawatiran. 

Hingga akhirnya, MC pun mengucapkan "Selamat sore", yang dibalas dengan kelegaan dari Mei dan juga aku sendiri. 

"Tuh kan, pasti diucapin kok Mei."

.
.
.

Ucapan Mei diatas, sukses membuat aku terhenyak. Dan berpikir lama.

Andai saja kamu, iya kamu, yang sedang membaca ini, ada disitu, kamu akan bisa merasakan bahwa raut muka Mei bukanlah kekhawatiran biasa.

Ada takut di raut mukanya. Takut bahwa identitas agamanya menjadi tidak berarti. 

Ada cemburu di raut mukanya. Cemburu karena logika polosnya berkata bahwa ada suatu agama tertentu yang diposisikan lebih superior dibanding agamanya sendiri.

Ada resah di raut mukanya. Resah bahwa ini bukan hanya soal sapaan, tapi juga soal rekognisi dan validasi atas identitas agamanya.

Ada panik di raut mukanya. Panik bahwa mungkin saja, menurutnya ini merupakan suatu bentuk eksklusi dan ketika ia berbeda, ia tidak bisa mendapat perlakuan yang sama.

Tapi, khawatirlah yang utama terpancar. Khawatir itu seakan menang; sudah mendorong batas kenyamanannya, menarik dirinya dari teman-teman lainnya, membiarkan ia memiliki rasa asing yang seharusnya tidak perlu ada.

Sehingga membuat saya menyadari bahwa kalimat "Selamat sore" bukanlah suatu sapaan basa-basi biasa.

Tapi itu adalah suatu sapaan, yang kemudian aku syukuri keberadaannya.


26 November 2016,
Dengan segala keresahan bersama Mei,

14-1-25-1

You Might Also Like

0 komentar